Sabtu, 05 September 2009

24 LSM Jatim Tolak RUU Rahasia Negara


Sebanyak 24 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jawa Timur yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat untuk Kebijakan Partisipatif (JMKP) menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara.

“Kami sudah mendiskusikan draf RUU itu di Universitas Surabaya (Ubaya) pada akhir Agustus 2008 dan kami sepakat menolak, karena RUU itu bertentangan dengan semangat reformasi dan membahayakan kebebasan pers,” kata juru bicara JMKP, Donny Maulana, Sabtu (5/9) .

Menurut dia, JMKP memandang materi yang diatur RUU itu berpotensi luas untuk melanggar hak asasi manusia, menegasikan keterbukaan informasi, termasuk kebebasan pers, dan bertentangan dengan semangat tata kelola pemerintahan yang baik.

Bahkan, katanya, RUU itu dapat menjadi “payung hukum” yang dapat melindungi koruptor dan menghambat reformasi sektor keamanan (security sector reform) serta secara nyata merupakan langkah mundur dalam demokrasi dan reformasi.

“Kebebasan memperoleh informasi adalah bagian dari hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur penting dalam negara demokrasi untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (open and accountable goverment),” katanya.

Ia menyatakan pihaknya menyayangkan masih berlanjutnya pembahasan RUU Rahasia Negara itu, padahal proses reformasi dan demokrasi yang saat ini berjalan harus lebih diperkuat, bukan justru mengambil langkah kontraproduktif yang tidak perlu.

“Jenis-jenis rahasia negara sebagaimana diatur dalam pasal 6 RUU itu tidak sejalan dengan semangat reformasi sektor keamanan, termasuk intelijen di dalamnya,” kata Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya itu.

Selain itu, enam jenis rahasia negara yang disebutkan juga bertentangan dengan standar internasional, mengancam kebebasan informasi dan kebebasan pers serta tuntutan tata pemerintahan yang baik.

“Pengaturan kerahasiaan negara yang berkaitan dengan pertahanan negara, khususnya yang berkaitan dengan ‘alokasi anggaran dan laporan pembelanjaan’ adalah pengaturan kerahasiaan yang tidak pada tempatnya,” katanya, didampingi Athoillah dari LSM Respublika.

JMKP menilai alokasi anggaran, termasuk alokasi belanja lembaga publik, sudah seharusnya dapat diakses secara mudah oleh publik, karena alasan akuntabilitas, keterbukaan informasi untuk mewujudkan kontrol sipil atas institusi keamanan, membuka potensi penyalahgunaan keuangan oleh institusi keamanan, dan merangsang munculnya penyelenggaraan negara yang korup.

“Lebih buruknya, RUU rahasia negara itu memberi peluang yang sangat luas bagi intelijen untuk menafsirkan secara subyektif, misalnya pasal 6 huruf a.3.n yang berbunyi ‘informasi yang berkaitan dengan dugaan seseorang sebagai subversi, teroris atau aktivitas lain yang melawan hukum yang ditujukan melawan/memusuhi ketertiban umum, keamanan, pertahanan, kemerdekaan, integritas atau status internasional’ yang dianalisa dinas intelijen’,” katanya.

RUU itu, katanya, hendak menghidupkan kembali isu subversi yang dalam pemerintahan otoriter masa lalu menjadi senjata ampuh untuk membungkam kelompok masyarakat kritis, apalagi penggunaan frasa aktivitas lain juga membuka peluang tafsir subyektif dari pelaku intelijen.

“Kerahasiaan terkait dengan senjata yang diatur dalam RUU itu juga bertentangan dengan regulasi internasional tentang transfer senjata, terutama ‘Arrangement on Export Controls for Conventional Arms and Dual-Use Goods and Technologies’,” katanya.

Negara-negara anggota PBB telah menyepakati “Guidelines for International Arms Transfer” yang dikeluarkan oleh Disarmament Commission pada 3 Mei 1996. Mereka mengharuskan transparansi kebijakan pertahanan negara, karena itu masalah persenjataan yang disebutkan sebagai rahasia negara tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, rencana dibentuknya Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara sebagaimana bab V RUU itu mempunyai peluang tumpang tindih dengan Komisi Informasi Publik sebagaimana sudah diatur dalam UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

“Karena itu, kami sepakat menolak RUU itu dan mendesak DPR untuk menghentikan pembahasannya. Bila diteruskan, kami menduga ada deal-deal khusus antara DPR dengan instansi terkait yang menangani sektor keamanan, karena itu kami akan menggalang solidaritas untuk menolak kebijakan yang antidemokrasi itu,” katanya.

Anggota JMKP antara lain Pusham Unair, Pusham Ubaya, ResPublika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jatim, LKM-Media Watch, Centre for Religious and Community Studies (CeRCS), Savy Amira WCC, AJI Surabaya, Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Surabaya, PMKRI, PMII, KAMMI, BEM Ubhara, Forum Lintas Agama (FLA) Jatimr, WVI Jatim, WSM Surabaya, APPI, dan LPEK. [ant/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar