Selasa, 24 Februari 2009

Belajar Dan Belajar

Yang namanya belajar memang tidak ada akhirnya, walaupun anda sudah mendapat gelar sarjana setinggi apapun, anda tetap harus belajar lagi tentang ini dan itu. Dunia pun tidak henti-hentinya memunculkan hal-hal baru, untuk memahami dan menguasai hal baru tersebut tidak ada jalan lain selain mempelajarinya, "agar tidak malu ditengah jalan". Saya pun seperti demikian, mungkin karena daya tangkap seseorang dalam memahami hal-hal barupun berbeda-beda, tanpa bermaksud menyinggung pihak lain, mungkin saya termasuk orang yang beruntung karena mampu memahami hal-hal baru dalam waktu yang singkat. Namun ada satu hal menurut saya yang paling sulit untuk dipelajari namun tidak tertutup kemungkinan untuk dikuasai, yaitu memahami perasaan orang lain. Psikiater mungkin ahlinya, tetapi Psikiater sendiripun kadang benar dan kadang salah dalam memahami orang lain, itupun sudah harus dipelajari dalam-dalam dengan komunikasi langsung dengan pasiennya. Memahami perasaan orang lain memang tidak semudah memahami cara menggunakan ponsel baru, karena perasaan manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, kesempatan dan waktu, kecerdasan intelektual dan spiritual, kemampuan berkomunikasi, tingkat keberanian, malah sampai kepada rasa cintanya. Saya memahami perasaan orang lain selalunya dengan melihat dua cara, yaitu kecerdasan intelektual dan spiritualnya serta kemampuan komunikasinya. Dulu pernah beberapa kali Trail and Error, terutama dalam masalah komunikasi. Dahulu saya menganggap berkomunikasi dengan bahasa spiritual akan selalu membuka pemahamannya tentang maksud yang ingin saya sampaikan, entah apakah orang yang ingin saya pahami tersebut tingkat kecerdasan dan pemahamannya tentang agama sedikit atau banyak, awam atau ahli. Semua orang saya jelaskan dengan bahasa yang sama, dan ternyata tidak semua memahami maksud saya, malah ada yang sampai salah paham terutama bagi yang awam tentang bahasa spiritual. Begitu juga ketika saya berdiskusi dengan yang ateis atau non-spiritual, saya bahasakan materi diskusi saya dengan bahasa spiritual. Ditengah diskusi justru saling bantah-bantahan tidak karuan, saya ngotot merasa paling benar karena berdalil ayat-ayat Tuhan, sedangkan kaum ateis membantah dalil spiritual karena tidak percaya Tuhan. Hasilnya tidak ada yang mau mengalah karena komunikasinya tidak nyambung. Kaum ateis merasa dirinya juga tidak terbantahkan karena dalil-dalilnya tidak terbantahkan dengan logis, apalagi dengan ayat-ayat dari kitab, malah menambah ketidak percayaannya. Dari kedua bentuk diskusi tersebut, memang cara berkomunikasi yang tepat adalah jalan penyelesaiannya, hanya saja rumus berkomunikasi dengan orang yang bertentangan dengan model komunikasi yang saya gunakan harus pas. Logika sederhananya adalah, saya berbicara bahasa melayu dinegara rusia, jelas tidak nyambung. Saya memaksa warga rusia berbicara bahasa melayu seperti saya justru lebih salah lagi. Tapi jika saya yang berbahasa rusia karena berada dinegara rusia mungkin akan nyambung, tapi jangan pula malah senang berbahasa rusia sehingga melupakan jati dirinya sebagai orang melayu. Begitu juga dengan berkomunikasi dengan orang yang awam tentang agama, harus dengan kosakata yang dipahami benar oleh mereka, tinggal cara kita meracik kosakata tersebut agar maksud dan tujuan kita tersampaikan serta dipahami oleh mereka. Begitu juga ketika berhadapan dengan kaum Sekuler, Liberal, ahli seni beladiri, hacker, pecandu narkoba bahkan ketika berkomunikasi dengan wanita. Setiap komunikasi yang ingin kita lakukan harus diawali dengan mempelajari terlebih dahulu pemahaman orang yang ingin diajak berkomunikasi, tapi tidak melupakan target awal berkomunikasi. Walau terkesan munafik, tetapi jika ujung-ujungnya dari kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan dan menghasilkan hal-hal yang positif, kenapa harus malu? Namanya juga belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar